Selasa, 21 Juni 2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah s.w.t. menurunkan al-Qur’an kepada Rasul kita Muhammad s.a.w. untuk memberi petunjuk kepada manusia. Turunnya al-Qur’an merupakan peristiwa besar yang sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan penghuni bumi. Turunnya al-Qur’an pada malam lailatul qadar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari Malaikat-Malaikat akan kemuliaan umat Muhammad s.a.w. Turunnya al-Qur’an yang kedua kalinya secara bertahap, berbeda dengan kitab yang sebelumnya, sangat mengagetkan orang dan menimbulkan keraguan terhadapnya, sebelum jelas bagi mereka rahasia hikmah ilahi yang ada dibalik itu. Rasulullah tidak menerima
risalah agung ini sekaligus dan kaumnya pun tidak puas dengan risalah tersebut karena kesombongan dan permusuhan mereka. Olehnya itu wahyupun turun berangsur-angsur untuk menguatkan hati rasul dan menghiburnya serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmat-Nya.1
Berbicara tentang Nuzul al-Qur’an (turunnya al-Qur’an) seakan kita membicarakan suatu peristiwa yang sakral yang terjadi pada beribu-ribu tahun yang lampau. Olehnya itu pantas seorang Nasr Hamid Abu Zaid, mempertanyakan eksistensi peristiwa tersebut, sebagaimana ia katakana bahwa konsep tentang Nuzul al-Qur’an masih menyisakan pertanyaan mengenai bagaimana komunikasi antara Allah dan Malaikat-Nya : pertama, berkaitan dengan kode yang digunakan dalam komunikasi tersebut, dan kedua, komunikasi antara Malaikat dengan Rasul mengenai proses penerimaan wahyu selama kode yang dipergunakan oleh keduanya adalah bahasa Arab. Pertanyaan-pertanyaan sulit ini merupakan masalah sentral dari salah satu ‘Ulum al-Qur’an, yaitu “bagaimana proses inzal dan maknanya”2.
 B. Rumusan Masalah
Dengan demikian, dari permasalahan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa makna Nuzul al-Qur’an ?
2.      Apakah fungsi Nuzul al-Qur’an?
3.      Bagaimanakah proses turunnya al-Qur’an itu?
4.      Apakah hikmah diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur?
5.      Kapankah masa turunnya al-Qur’an itu?


BAB II 
PEMBAHASAN
1.      Makna Nuzul al-Qur’an
Nuzul al-Qur’an terdiri dari dua kata yaitu Nuzul dan al-Qur’an. Menurut bahasa,  kata Nuzul dalam kamus lisan al-Arab berarti (al-hulul) berdiam atau tinggal3. Sedangkan menurut Az-Zarqani, penggunaan Nuzul itu sendiri mengandung dua pengertian. Pertama berarti: tinggal disuatu tempat dan berdiam atau beristirahat ditempat itu. Kedua berarti: turunnya sesuatu dari tempat yang tinggi menuju ke tempat yang rendah4.
Sedangkan makna al-Qur’an secara bahasa banyak diperselisihkan oleh para ulama, ada yang mengatakan Musytaq dan ada yang mengatakan Jamid. Akan tetapi, secara sederhana apabila kita buka dalam kamus Arab al-Munawwir misalnya, kata  tersebut berarti bacaan karena makna tersebut diambil dari makna Qiraatun atau Qur’an , yaitu bentuk masdar dari Qara’a.
Rangkaian dua kata tersebut yang terdiri dari susunan idhofah memberikan pemahaman bahwa yang dimaksudkannya adalah turunnya al-Qur’an sendiri. Akan tetapi kata sebahagian ulama khalaf: kebanyakan orang telah menafsirkan Nuzul pada beberapa tempat dalam al-Qur’an bukan dengan maknanya yang terkenal, lantaran kesamaran yang terjadi bagi mereka ditempat-tempat itu, lalu menjadilah tafsiran mereka hujjah bagi orang yang menafsirkan Nuzul al-Qur’an itu dengan tafsir mutakallimin. Diantara mereka ada yang mengatakan, bahwa yang dikehendaki dengan menurunkan al-Qur’an ialah melahirkan dari tempat yang tertinggi, kemudian malaikat Jibril menurunkannya dari tempat tersebut, dan diantara mereka ada yang berkata, yang dikehendaki dengan menurunkan al-Qur’an ialah memberitahu kepada malaikat, sehingga mereka paham, kemudian mereka membawa turun apa yang telah mereka pahamkan itu6.
Untuk menolak keraguan, Hasbi Ash Shiddiqy memberikan pernyataan bahwa hakikat keadaan turun yang terdapat dalam kitab Allah ada tiga macam:
Pertama: Turun yang ditegaskan bahwa dia itu diturunkan dari Allah.
Kedua: Turun yang ditegaskan bahwa dia itu diturunkan dari langit.
Ketiga: Turun yang tidak dikaitkan dengan turunnya dari Allah dan tidak pula dikaitkan dengan turunnya dari langit.7 Ketiga pernyataan tersebut semuanya bisa kita temui dalam al-Qur’an.
 Pertama, firman Allah dalam surah Al-An’am, ayat 114 yang berbunyi:
أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ
Artinya:
“Bahwa al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenar-benarnya,  maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu”.
Kedua, firman Allah dalam surah Al-Hijr, ayat 22 yang berbunyi :
فَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَأَسْقَيْنَا كُمُوْهُ وَمَآ اَنْتُمْ لَهُ بِخَازِنِيْنَ
Artinya:
“Dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya”.
Ketiga, firman Allah dalam surah Al-Fath, ayat 4 yang berbunyi:
هُوَالَّذِيْ أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ  فِيْ قُلُوْبِ الْمُؤْمِنِيْنَ لِيَزْدَادُوْا إِيْمَا نًامَّعَ إِيْمَا نِهِمْ
Artinya:
“Dialah (Allah) yang telah menurunkan ketenangan kedalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka (yang telah ada).
Diantara ketiga ayat yang dikutip diatas, ketika kita memperbincangkan masalah makna Nuzul dalam kaitannya dengan Nuzul al-Qur’an, menurut hemat penulis ayat yang pertamalah yang paling mendekati kebenaran, karena memang pada kenyataannya al-Qur’an itu diturunkan dari Allah merupakan kalam Allah yang tidak bisa diganggu gugat, bukan kalam orang lain. Dan tidaklah kita katakan bahwa al-Qur’an itu ‘ibarah dari kalamnya, dan apabila dibaca oleh seorang pembaca, tidaklah dikatakan kalam pembaca itu sendiri, karena kalam itu disandarkan kepada orang yang mengatakannya pada permulaan, bukan kepada orang yang menyampaikannya. Adapun cara Allah menurunkannya  akan dibahas pada pembahasan berikutnya.
Kemudian pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah kalau al-Qur’an itu diturunkan, terus apanyakah yang diturunkan? Apakah lafadznya ataukah maknanya? Karena hal ini mengundang perdebatan dikalangan ulama, diantaranya ada yang berpendapat bahwa:
a.        Pendapat pertama, menetapkan bahwa yang diturunkan itu lafadz dan makna. Jibril menghafal al-Qur’an dari Lauh al-Mahfudz kemudian menurunkannya.
b.        Pendapat kedua, menetapkan bahwa Jibril menurunkan maknanya saja. Rasul memahami makna-makna itu, lalu beliau menta’birkan dengan bahasa Arab.
c.        Pendapat ketiga, menetapkan bahwa Jibril menerima lalu Jibril mentakbirkannya dengan bahasa Arab. Dan ada paham bahwa isi langit membaca al-Qur’an itu dengan bahasa Arab. Lafadz Jibril itulah yang diturunkan kepada Nabi s.a.w.8
Ketiga pendapat tersebut kalau kita tengok dalam al-Qur’an sebenarnya sudah dijelaskan. Hal ini juga terkait dengan al-Qur’an apakah ia sebagai lafadz atau makna. Diantaranya firman Allah sebagai berikut:
بَلْ هُوَ قُرْءَانُ مَجِيْدٌ فِيْ لَوْحٍ مَحْفُوْظٍ
Artinya :
“Tetapi dia (sebenarnya) Qur’an yang mulia (termaktub) di Lauh al-Mahfudz”.
(Q.S. al-Buruj:21-22)
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ                         
Artinya:
“Sesungguhnya al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul yang mulia”.
(Q.S. al-Haqqah:40).
نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ الأَمِيْنُ عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُوْنَ مِنَ الْمُنْذِرِيْنَ
Artinya:
”Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan. (Q.S. Asy-Syu’ara:193-194).
Ayat pertama dipahami oleh sebagian ulama bahwa al-Qur’an itu dinisbahkan kepada Allah. Allah menjadikannya di Lauh al-Mahfudz, sementara ayat kedua dipahami oleh sebagian ulama, bahwa lafadz al-Qur’an adalah lafadz Jibril, sementara ayat ketiga dipahami juga oleh sebagian ulama, bahwa lafadz al-Qur’an itu adalah lafadz Rasul sendiri. Kalau demikian, tentulah yang diturunkan kepada Nabi s.a.w. adalah makna al-Qur’an, lalu Nabi menyebutnya dengan memakai lafadz Nabi sendiri.9
Para muhaddits berpendapat bahwa, pendapat yang terdekat kepada kebenaran dan keagungan al-Qur’an, ialah pendapat yang pertama. Itulah yang lebih tepat dan lebih sesuai dengan kedudukan al-Qur’an sebagai kalamullah dan sebagai suatu mukjizat.
Al-Juwainy berkata: kalamullah itu (yang diturunkan) terbagi dua yaitu:
Pertama, bahagian yang Allah sampaikan kepada Jibril: katakanlah kepada Nabi yang engkau diutus kepadanya, bahwa Allah SWT, berkata begini, atau menyuruh mengerjakan begini, atau memerintahkan begini. Jibril memahami apa yang difirmankan oleh Allah s.w.t., kemudian ia membawa turun kepada Nabi dan lalu menyampaikannya apa yang difirmankan Allah s.w.t. kepadanya. Akan tetapi, bukan dengan ibarat yang didengar oleh Allah s.w.t., yakni yang disampaikan itu hanya maknanya saja.
Kedua, bahagian yang Allah sampaikan kepada Jibril: Bacalah kepada Nabi kitab ini, maka Jibril turun membawa yang disuruh baca itu dengan tidak mengubah lafadz. Hal ini serupa dengan utusan yang diserahkan kepadanya suatu surat dan diperintahkan ia membaca surat itu kepada orang yang dimaksudkan, maka yang membawa surat dan yang membacanya, tentulah membacanya persis sebagai isi surat sendiri, sedikitpun tidak berubah.10
Al-Ashfahani mengatakan dalam muqaddimah tafsirnya bahwa Ahlu Sunnah wal Jamaah telah sepakat bahwa kalamullah itu diturunkan, tetapi mereka berbeda pendapat dalam mengartikan inzal (turunnya) al-Qur’an. Sebahagian lagi mengatakan bahwa Allah mengilhamkan kalam-Nya kepada Jibril, dengan mengajarkan bacaan kalam itu kepada Jibril. Setelah itu Jibril melakukan bacaan tadi di bumi, yang sudah barang tentu ia turun ke bumi.11
Ringkasnya, bahwa makna diturunkannya al-Qur’an ialah, diturunkannya dari alam gaib kedalam alam syahadah dengan jalan menzahirkan rupanya yang bersifat alam kepada para utusan-utusan (para malaikat yang dijadikan utusan), atau dengan jalan dilahirkan di Lauh al-Mahfudz, atau dihujamkan dalam jiwa Nabi. Beginilah makna diturunkan al-Qur’an yang dipegang oleh ulama khalaf. Sebagaimana juga diterangkan oleh pengarang al-Kulliyat, bahwa makna diturunkan al-Qur’an, bukanlah dia diangkat dari satu tempat kesatu
tempat yang lain melainkan hanya maknanya saja, Jibril menurunkan apa yang ia pahami dari kalamullah di atas langit tujuh lalu turun untuk mengajarkan yang demikian kepada para Nabi di atas bumi.12
2.      Fungsi Nuzul al-Qur’an
Ada beberapa fungsi al-Qur’an itu diturunkan Allah yang fungsi-fungsinya itu sangat berguna bagi manusia sebagai khalifah dibumi ini antara lain adalah:13
1.      Allah menurunkan al-Qur’an kepada nabi Muhammad sebagai petunjuk bagi ummat manusia sebagaimana firman-Nya dalam surah al-baqarah ayat 185:
شَهْرُ رَمَضَا نَ الَّذِيْ أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
2.      Al-Qur’an sebagai pembawa berita yang sangat menakjubkan bagi penghuni bumi dan langit.
3.      Menjadi penawar atau obat penenang jiwa yang gelisah sebagaimana firman-Nya:
وَنُنَزِّلُ مِنَالْقُرْءَانِ مَا هُوَشِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ
3.  Proses Nuzul al-Qur’an

A.    Cara turunnya wahyu Allah (al-Qur’an) kepada Jibril

Dalam al-Qur’an terdapat beberapa nash mengenai kalam Allah kepada para malaikat-Nya14. Nash-nash tersebut dengan tegas menunjukkan bahwa Allah berbicara kepada para malaikat tanpa perantaraan dan dengan pembicaraan yang dipahami oleh para malaikat itu. Hal itu diperkuat oleh hadits dari Nawas bin Sam’an r.a. yang mengatakan: Rasulullah s.a.w. bersabda yang artinya: “Apabila Allah hendak memberikan wahyu mengenai suatu urusan, dia berbicara melalui wahyu, maka langit pun bergetar dengan getaran yang dahsyat karena takut kepada Allah s.w.t. Apabila penghuni langit mendengar hal itu, maka pingsan dan jatuh bersujudlah mereka itu kepada Allah. Yang pertama sekali mengangkat muka diantara mereka itu adalah Jibril, maka Allah membicarakan wahyu itu kepada Jibril menurut apa yang dikehendaki-Nya. Kemudian Jibril berjalan melintasi para malaikat. Setiap kali ia melalui satu langit, maka bertanyalah kepadanya malaikat langit itu: apakah yang telah dikatakan kepada tuhan kita wahai Jibril? Jibril menjawab : Dia mengatakan yang hak dan Dialah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Besar. Para malaikat pun mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Jibril, alu Jibril menyampaikan wahyu itu seperti yang diperintahkan Allah s.w.t.”15.
Olehnya itu, para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah yang berupa al-Qur’an kepada Jibril dengan beberapa pendapat:
a. Bahwa Jibril menerimanya dengan cara mendengar dari Allah dengan    lafalnya yang khusus.
b.  Bahwa Jibril menghafalnya dari Lauh al-Mahfudz.
c. Bahwa maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafalnya adalah lafal Jibril, atau lafal Muhammad s.a.w.
Menurut pandangan al-Qattan, kalau dilihat dari ketiga pendapat tersebut, maka pendapat pertamalah yang benar, karena diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Nawas bin Sama’an diatas, dan pendapat ini juga dijadikan pegangan oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah16.
            Dalam hal ini az-Zarqani memberikan pandangan bahwa : Allah memberikan pemahaman kepada Jibril mengenai kalam-Nya pada saat berada dilangit, namun Dia tidak berada disuatu tempat, Allah mengajarinya cara membaca, kemudian Jibril menyampaikannya ke bumi, dan dia turun pada suatu tempat17.
Sedangkan al-Ghazali mengatakan : Jibril menghafalkan al-Qur’an dari Lauh al-Mahfudz dan membawanya turun, sebagian diantara mereka menyebutkan bahwa masing-masing huruf al-Qur’an dalam Lauh al-Mahfudz seukuran gunung Qaf, dan bahwa dibalik setiap huruf terdapat makna-makna yang hanya diketahui oleh Allah s.w.t., dan huruf-huruf itulah merupakan pembungkus makna-makna al-Qur’an18.
b.      Cara Wahyu Allah (al-Qur’an) turun kepada Nabi Muhammad s.a.w..
Secara garis besar, cara wahyu Allah (al-Qur’an) turun kepada Nabi, ada yang melalui perantara dan ada pula tanpa melalui perantara, sebagaimana yang dijelaskan al-Qattan dalam bukunya “Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an”. Turunnya wahyu dengan melalui perantara sebagimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril. Menurut al-Qattan ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat Jibril kepada Nabi yaitu:19
Cara Pertama: Datang kepadanya suara seperti dencingan lonceng dan suara yang amat kuat yang mempengaruhi faktor-faktor kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini yang paling berat buat Rasulullah s.a.w. dengan cara ini, maka ia mengumpulkan segala kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal, dan memahaminya. Suara itu mungkin suara kepakan sayap-sayap malaikat, seperti diisyaratkan dalam hadits:
إِذَا قَضَى اللَّهُ لأَمْرفِى السَّمآءِ ضَرَبَتِ الْمَلاَءِكَةِ بِأَجْنِحَتِهاَ خضعاناً لِقَوْلِهِ كَا لْسلسلة عَلَى صِفْوَانِ.                                 َ
Artinya:
“Apabila Allah menghendaki suatu urusan dilangit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan gemerincingnya mata rantai diatas batu-batu yang licin”20.
Cara kedua: malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara yang demikian itu, lebih ringan daripada cara yang sebelumnya, karena adanya kesesuaian antara pembicara dan pendengar. Rasul s.a.w. merasa senang sekali mendengarkan dari utusan pembawa wahyu itu, karena merasa seperti manusia yang berhadapan dengan saudaranya sendiri.
Keadaan Jibril menampakkan diri seperti seorang laki-laki itu tidaklah mengharuskan ia melepaskan sifat kerohaniaannya, dan tidak pula berarti bahwa zatnya telah berubah menjadi seorang laki-laki, tetapi yang dimaksudkan ialah bahwa dia menampakkan diri dalam bentuk manusia tadi untuk menyenangkan Rasulullah sebagai manusia. Yang sudah pasti keadaan pertama, tatkala wahyu turun seperti dencingan lonceng, tidak menyenangkan karena keadaan yang demikian menuntut ketinggian rohani dari Rasulullah yang seimbang dengan tingkat kerohaniaan malaikat, dan inilah yang paling berat.
Pertanyaannya ialah bagaimana komunikasi ini dapat terjadi, padahal terdapat perbedaan watak karena perbedaan tingkat eksistensi? Jawabannya bahwa ada perubahan yang terjadi pada salah satu dari dua pihak yang terlibat dalam proses komunikasi sehingga komunikasi dengan pihak lain dapat dimungkinkan. Salah satunya, Rasulullah berubah dari status kemanusiaannya dan masuk kedalam status kemalaikatan, kemudian menerima wahyu dari Jibril. Kedua, malaikat mengubah diri masuk ke status kemanusiaan sehingga Rasulullah dapat menerima wahyu dari Jibril. Yang pertama merupakan situasi yang paling berat21.
Kata Ibnu Khaldun: “Dalam keadaan yang pertama, Rasulullah melepaskan kodratnya sebagai manusia yang bersifat jasmani untuk berhubungan dengan malaikat yang rohani sifatnya. Sedang dalam keadaan lain sebaliknya, malaikat berubah dari yang rohani semata menjadi manusia jasmani. Kemudian Ibnu Khaldun membedakan kedua situasi ini dan mengaitkan masing-masing dari dua situasi tersebut dengan kode yang dipergunakan dalam komunikasi. Situasi pewahyuan memerlukan kesiapan khusus yang dalam konteks para nabi merupakan kesiapan fitri yang berasal dari seleksi Ilahiyah terhadap manusia. Dengan kesiapan ini, nabi yang juga manusia dapat mentransformasikan diri dari kemanusiaannya menjadi malaikat sehingga, ia dapat menerima wahyu dari malaikat22.
Setelah mereka (para nabi) bergerak dalam tahapan tersebut, melepaskan diri dari kemanusiaan dan menerima di alam malaikat langit, yang mereka terima (wahyu) dan membawa wahyu itu menurungi tangga-tangga kemampuan persepsi kemanusiaan, untuk disampaikan kepada manusia. Kadang-kadang terjadi semacam suara gemuruh yang didengar nabi. Suara tersebut seperti kata-kata yang tidak jelas. Dari kata-kata itu, ia mengambil ide(pesan) yang disampaikan kepadanya. Suara dengungan itu tidak akan melenyapkan ide tersebut yang diterima dan dipahaminya itu. Kadang-kadang malaikat yang menyampaikan wahyu itu muncul dalam rupa seorang laki-laki, kemudian berbicara kepadanya dan ia memahami (menangkap) apa yang dikatakan kepadanya. Belajar dari malaikat dan kembali ke tingkat persepsi kemanusiaan serta menangkap apa yang disampaikan kepadanya, semuanya seolah-olah terjadi dalam sekejap saja, bahkan lebih cepat daripada kelipan mata. Peristiwa itu tidak berada dalam dimensi waktu. Bahkan seluruhnya terjadi secara simultan dan sedemikian cepat. Oleh karena itu, disebut wahyu karena wahyu menurut bahasa adalah mempercepat23.
Kedua cara penyampaian wahyu( al-Qur’an) dari malaikat ke Nabi s.a.w. itu tersebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mukminin r.a. bahwa Harits bin Hisyam r.a. bertanya kepada Rasulullah s.a.w. mengenai hal itu, Nabi menjawab:
         
أَحْيَانَا يَأْتِيْنِيْ مِثْلَ صَلْصَلَةالْجَرَس،وَهُوَأَشَدُّعَلَيَّ فَيَفْصم عَنِّىوَقَدْوَعَيْتُ عَنْهُ مَاقَال وَاَحْيَانَايَتمثَل
 لِيَ الْمُلْكُ رَجُلاًفَيَتَكَلَّمُنِىْفَأعى مَايَقُوْلُ.َ    
Artinya:
“Kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku, lalu ia pergi, dan aku telah menyadari apa yang dikatakannya. Dan terkadang malaikat menjelma sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku, dan aku pun memahami apa yang dia katakan”.
Al-Khattabi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan suara gemerincing lonceng ialah, suara riuh/bising kedengarannya, sehingga keadaan yang demikian itu menegangkan beliau. Setelah itu barulah beliau dapat memahaminya24.
Kemudian turunnya wahyu tanpa melalui perantara, ada kalanya melalui dengan mimpi yang benar, dan ada kalanya melalui dari balik tabir. Peristiwa mimpi yang benar yang dialami Nabi telah dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. yang berbunyi:
 عَنْ عَاءِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:أَوَّلُ مَابَدَئَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّأْيَاالصَّالِحَةَ فِي النَّوْمِ فَكَانَ لاَ يَرَى رَؤْيَا إِلاَّ جاَءَتْ مِثْلَ فَلَقَ الصُّبْحِ.
 
Artinya:
“Dari Aisyah r.a. dia berkata : Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada diri Rasulullah s.a.w. adalah mimpi yang shalih didalam tidurnya tidak melihat mimpi itu kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari”.
Hal ini merupakan persiapan bagi Rasulullah untuk menerima wahyu dalam keadaan sadar, dan tidak tidur. Kemudian peristiwa yang dapat diambil contoh turunnya wahyu dari balik tabir, seperti yang dialami nabi s.a.w. ketika beliau menerima perintah shalat pada peristiwa isra’ dan mi’raj. Demikianlah pendapat ulama yang paling sah.
Secara singkat proses turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w. telah dijelaskan dalam al-Qur’an:
وَمَاكَانَ لِبَشَرٍأَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلاَّوَحْياًأَوْمِنْ وَرَآئِ حِجَابٍ أَوْيُرْسِلَ رَسُوْلاً فَيُوْحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَآءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيْمٌ.
Artinya:
“Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”.
 (Q.S. Asy-Syuara:51).
            As-Shobuni dalam kitabnya “al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an” membagi dua tahap turunnya al-Qur’an yaitu:
1.      Dari Lauh al-Mahfudz ke sama’ (langit) dunia secara sekaligus pada malam lailatul qadar.

  1. Dari sama’ dunia ke bumi secara bertahap dalam masa dua puluh tiga tahun.
Penurunan pertama, dimaksudkan pada malam mubarakah yaitu malam lailatul qadar diturunkanlah al-Qur’an secara sempurna ke Baitul Izzah di langit pertama, alasan yang demikian adalah didasarkan dari nash sebagai berikut:
a.        Firman Allah s.w.t. :
حم وَالْكِتَابِ المُبِيْنِ إِنَّآ أَنْزَلْنَهُ فِي لَيْلَةِالْقَدْ رِوَمَآأَدْرَاكَ مَالَيْلَةُالْقَدْ رِ.
Artinya:
“Haa Miim. Demi Kitab (al-Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (Q.S. al-Dukhan:1-3).
    1. Firman Allah s.w.t.:
إِنَّآأَنْزَلْنَهُ فِيْ لَيْلَةِالْقَدْ رِ وَمَآ أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُالْقَدْرِ.
ِArtinya:
“Sesungguhnya kami telah menurunkan (al-Qur’an) pada malam kemuliaan, dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?(Q.S. al-Qadr:1-2)
c. Firman Allahs.w.t.:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْ أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ.
Artinya:
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda(antara yang hak dan yang bathil). (Q.S. al-Baqarah:185).
   Tiga ayat diatas menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan pada satu malam mubarakah serta dinamai dengan lailatul qadar yaitu salah satu malam pada bulan Ramadhan. Hal ini menyatakan bahwa turunnya al-Qur’an ialah turun tahap pertama keBaitul Izzah dilangit pertama. Sebagai alasannya apabila yang dimaksud dalam penurunan ini adalah penurunan pada tahap kedua yaitu kepada nabi s.a.w. maka tidaklah tepat bila dikatakan satu malam dan satu bulan yaitu bulan ramadhan, karena al-Qur’an diturunkan kepada nabi dalam masa yang lama yaitu selama masa kerasulan 23 tahun serta diturunkan bukan saja pada bulan ramadhan tetapi juga pada bulan lainnya. Dari itu nyatalah bahwa yang dimaksudkan adalah penurunan pada tahap pertama25.
Adapun hadits-hadits shahih yang menguatkan analisa diatas adalah sebagai berikut:
a. Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia berkata : al-Qur’an itu dipisahkan dari dzikir lalu   diturunkan ke Baitul Izzah dilangit pertama kemudian disampaikan oleh Jibril kepada nabi s.a.w. (Hadits riwayat Hakim).
b. Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia berkata: al-Qur’an diturunkan sekaligus kelangit pertama (tempat turun secara berangsur ). Dari sinilah Allah menurunkan kepada Rasul-Nya sedikit demi sedikit. (Hadits riwayat ThabranY).
c. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas pula bahwa ia berkata : al-Qur’an diturunkan pada malam lailatul qadar di bulan suci Ramadhan kelangit pertama secara sekaligus, kemudian diturunkan secara berangsur-angsur.(Hadits riwayat Hakim dan Baihaqy).
Penurunan tahap pertama ini, banyak diperselisihkan oleh para ulama. Setidaknya ada tiga pendapat yaitu:
a. Al-Qur’an itu diturunkan kelangit dunia pada malam al-Qadar sekaligus, yakni lengkap dari awal sampai akhirnya. Kemudian diturunkan berangsur-angsur sesudah itu dalam tempo 20 tahun atau 23 tahun atau 25 tahun. Berdasar kepada perselisihan yang terjadi tentang berapa lama Nabi bermukim di Makkah sesudah beliau diangkat menjadi Rasul.
b. Al-Qur’an itu diturunkan kelangit dunia dalam 20 kali lailatul qadar dalam 20 tahun, atau dalam 23 kali lailatul qadar dalam 23 tahun, atau dalam 25 kali lailatul qadar dalam 25 tahun. Pada tiap-tiap malam diturunkan kelangit dunia sekedar yang hendak diturunkan dalam tahun itu kepada Muhammad s.a.w. dengan syarat berangsur-angsur.
c.       Al-Qur’an itu permulaan turunnya ialah dimalam lailatul qadar. Kemudian diturunkan sesudah itu dengan berangsur-angsur dalam berbagai waktu26.
Penurunan tahap kedua adalah dari langit pertama ke lubuk hati Nabi s.a.w. dengan cara berangsur-angsur yang memakan waktu selama 23 tahun yaitu sejak kebangkitannya sebagai rasul sampai beliau wafat. Adapun alasan bahwa al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur adalah:
a.       Firman Allah s.w.t. dalam surat al-Isra’:
وَقُرْءَانًا فَرَقْنَا هُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيْلاً.
Artinya:
“Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian”.(Q.S. al-Isra’:106).
b.      Firman Allah dalam surat al-Furqan:
وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْلاَنُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَالِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيْلاً.
Artinya :
“Berkatalah orang-orang kafir: “Mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja ?”; demikianlah supaya Kami perkuat hati dengannya dan kami membacakannya secara tartil( teratur dan benar)”(Q.S. al-Furqan :32).
Dikatakan bahwa orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik mencela Nabi s.a.w. karena diturunkannya al-Qur’an secara terpisah-pisah. Mereka menghendaki agar diturunkannya secara sekaligus sebagaimana diturunkannya Taurat kepada Musa?  Dari peristiwa itu, maka turunlah dua ayat tersebut diatas sebagai bantahan terhadap mereka. Bantahan tersebut sebagaimana dikemukakan oleh az-Zarqany mengandung dua pengertian : (1). Bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Nabi s.a.w. secara berangsur-angsur dan(2). Kitab samawi sebelumnya diturunkan secara sekaligus, sebagaimana telah populer dikalangan jumhur ulama bahkan dapat dikatakan ijma’.
Analisa dari dua pengertian diatas adalah; (1). Allah membenarkan apa yang dikemukakan oleh mereka bahwa turunnya kitab-kitab samawi terdahulu adalah sekaligus. Dapat ditandai bahwa Allah menjawab pertanyaan mereka secara filosofis bahwa turunnya al-Qur’an adalah berangsur-angsur dan andaikata turunnya kitab-kitab samawi sebelum al-Qur’an secara berangsur-angsur pula sebagaimana halnya al-Qur’an, niscaya Allah akan memberi bantahan terhadap mereka bahwa mereka tidak membenarkannya (mendustakannya). (2) Penurunan secara berangsur-angsur adalah merupakan sunnatullah, sebagaimana Dia menurunkan sekaligus kitab-kitab kepada para Nabi terdahulu.
4.      Hikmah diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur
a. Menetapkan hati Rasul yang menjadi pertanyaan kenapa hati Rasul perlu dinisbahkan? Hal itu Nabi dikarenakan berdakwah kepada orang banyak selalu saja mendapat tantangan dari orang-orang yang anti kepadanya, tambah lagi sifat orang-orang tersebut kasar dan bengis serta tidak menunjukkan sikap yang bersahabat. Maka hal seperti itu perlu diberi semangat dan kekuatan kepada Rasul bahwa apa yang dia alami itu sama dengan yang dialami oleh Nabi-nabi dan para Rasul terdahulu.
b. Untuk melemahkan lawan-lawannya, orang-orang yang anti kepadanya     Rasulullah senantiasa melakukan upaya yang dapat menyudutkannya. Diantara upaya tersebut adalah dengan menunjukkan tantangan yang sepertinya Rasulullah tidak dapat membuktikannya. Misalnya tantangan mereka agar Rasulullah minta kepada Allah untuk menurunkan azab kepada mereka. Apa yang mereka minta itu dibuktikan oleh Rasulullah dan Allah menurunkan azab kepada mereka pada waktu itu juga.
c. Mudah dipahami dan dihafal, bagi bangsa yang buta huruf sulit dapat menghafal dan memahami sesuatu yang harus dipahami atau dihafal. Oleh karena itu, diturunkan al-Qur’an itu secara berangsur-angsur menjadi mudah dihafal dan dipahami serta diamalkan.
d.  Sesuai dengan lalu lintas peristiwa atau kejadian, al-Qur’an diturunkan sesuai    dengan kejadian atau peristiwa-peristiwa yang muncul pada waktu itu, misalnya peristiwa tayammum sebagai pengganti wudhu ketika tidak diperoleh air27.
5.      Masa Turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an mulai diturunkan kepada Nabi ketika sedang berkhalwat di gua hira pda malam senin, bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. = 6 Agustus 610 M.
Ibnu Ishaq, seorang pujangga tarikh Islam yang ternama menetapkan bahwa malam itu, ialah malam ke-17 Ramadhan. Penetapan ini dapat dikuatkan dengan isyarat al-Qur’an sendiri. Sebagaimana firman Allah s.w.t.:
إِنْ كُنْتُمْ ءَامَنْتُمْ بِااللَّهِ وَمَآأَنْزَلْنَاعَلَىعَبْدِنَايَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَىالْجَمْعَانِ.
Artinya :
“Jika kamu telah beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami pada hari al-Furqan, yaitu hari bertemunya dua pasukan”.
(Q.S. al-Anfal:41)
Dikehendaki dengan hari bertemunya dua pasukan yaitu hari bertemunya tentara Islam dengan tentara Quraisy Musyrikin dalam pertempuran di Badar. Yang demikian itu tepat jatuhnya pada hari Jum’at tanggal 17 Ramadhan, walaupun tidak dalm setahun28.
Masa turunnya al-Qur’an ini terbagi dua yaitu sebelum hijrah Nabi s.a.w. dan sesudahnya.
Pertama: Masa Rasul s.a.w. tinggal di Makkah, selama 12 tahun 5 bulan 12 hari, terhitung sejak tanggal 17 Ramadhan tahun ke- 14 dari kelahirannya, sampai awal Rabiul Awal tahun ke-54 sejak kelahirannya. Semua ayat yang diturunkan di Makkah dan sekitarnya, sebelum hijrah, disebut ayat Makkiyah29.
Kedua: Ayat-ayat yang turunnya sesudah Nabi s.a.w. yang telah hijrah di Madinah, sekalipun tidak persis turun di Madinah, disebut ayat Madaniyyah, yaitu selama 9 tahun 9 bulan 9 hari, yakni dari permulaan Rabiul Awwal tahun 54 dari Milad Nabi, hingga 9 Dzulhijjah tahun 63 dari Milad Nabi, tahun 10 Hijriyah30
BAB III 
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan yang tersebut diatas, maka dapat disimpulkan beberapa pernyataan sekaligus menjadi kesimpulan sebagai berikut:

1.      Makna yang terkandung dalam istilah Nuzul al-Qur’an sebenarnya bukan hanya terkait dengan turunnya al-Qur’an itu saja, akan tetapi terkait juga dengan sesuatu yang diturunkan, yaitu berupa lafadz dan makna, dan proses turunnya al-Qur’an mulai dari Allah sebagai sumber aslinya dengan perantaraan malaikat Jibril, kemudian disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w., sehingga sampai kepada kita semua.

2.      Salah satu fungsi yang paling mendasar diturunkannya al-Qur’an ialah, untuk menjadi petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia semuanya, baik dalam kehidupan duniawi maupun ukhrawi.

3.  Proses turunnya al-Qur’an dikenal melalui dua tahap yaitu dari Lauh al-Mahfudz ke sama’ (langit) dunia secara sekaligus pada malam lailatul qadar, dan dari sama’ dunia ke bumi secara bertahap dalam masa dua puluh tiga tahun, selama masa kerasulan Nabi s.a.w.

4.   Salah satu hikmah yang paling mendasar diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur adalah untuk memperteguh hati nabi Muhammad s.a.w., sebab wahyu yang diturunkan pada setiap kejadian, itu akan lebih memperteguh kepercayaan dalam hati, memperkuat inayah kepada Rasul yang menerimanya dan menambah seringnya kedatangan Malaikat Jibril kepadanya. Sehingga hubungan Rasulullah dengan Jibril sebagai pembawa tugas risalah akan selalu baru.

5.   Masa turunnya al-Qur’an dikenal dengan dua masa yaitu sejak Rasulullah tinggal di Makkah dan setelah beliau hijrah ke Madinah.

B. Implikasi
Penulis yakin dan percaya, bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Olehnya itu penulis sangat mengharapkan sumbangsih pemikiran kepada para pembaca yang bernilai konstruktif untuk perbaikan makalah ini di kemudian hari. Akhirnya hanya kepada Allahlah penulis senantiasa memohon hidayah dan taufiq-Nya, semoga makalah ini dapat bermanfaat kepada penulis khususnya dan para pembaca yang budiman pada umumnya. Amin Yaa Rabbal Alamin… 
 DAFTAR PUSTAKA
Abu, Zaid, Hamid Nasr, Mafhum an-Nash, Diratsah fii ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh, Khoiron Nahdliyyin, dengan judul, Tekstualitas Al-Qur’an, Yogyakarta: LKIS, 2003
Abu Anwar, Ulumul Qur’an sebuah pengantar, Cet. 1, Pekan Baru: PT. Amzah, 2002.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, bulan Bintang, Jakarta: 1992.
Al-Qathan, Manna’, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Mudzakkir AS dengan judul Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Cet.V, Jakarta: PT. Pustaka Literatur Antar Nusa, 2002.
As-Shalih Subhi, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Az-Zarkasyi (Badaruddin Muhammad bin Abdillah), al-Burhan fi Ulumi al-Qur’an, Cet. III, Beirut: dar al-Ma’rifat li at-Tiba’ahwa  an-Nasyr,1972.
Az-Zanji, Abdullah Abu, Wawasan Baru Tarikh al-Qur’an, Bandung : PT. Mizan, 1986.
Al-Zarqani, Muhammad Abd al-Azim, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid 1, Dar al-Fikr; Beirut : 1998.
Muhammad, Aly Ash-Shabuny, At-Tibyan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Terjemahan, Pengantar Study Al-Qur’an, Jakarta: PT. Al-Ma’arif, 1982.
Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir, kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progressif, Surabaya: 2002.
Iqbal, Mashuri Sirajuddin, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: PT. Angkasa, 1987.
Ibnu Mantsur, “Lisan al-Arab” (Program CD).
Ibnu Khaldun, (Abdurrahman), Al-Muqaddimah, PT. Beirut, Libanon: Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi.1975.
Ibrahim al-Abyari, Tarikh al-Qur’an, Cairo: Dar al-Qalam, 1964.  

Senin, 20 Juni 2016

Hikmah Dan Keutamaan Malam Lilatul Qodr

Hikmah dan Keutamaan 
Malam Lailatul Qadar dalam Al-Quran dan Hadis

Berbicara tentang Lailat Al-Qadar mengharuskan kita berbicara tentang surat Al-Qadar. Surat Al-Qadar adalah surat ke-97 menurut urutannya dalam Mushaf. Ia ditempatkan sesudah surat Iqra'. Para ulama Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surat Iqra'. Bahkan sebagian di antara mereka menyatakan bahwa surat Al-Qadar turun setelah Nabi Saw. berhijrah ke Madinah.
Penempatan urutan surat dalam Al-Quran dilakukan langsung atas perintah Allah Swt., dan dari perurutannya ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan.
Kalau dalam surat Iqra' Nabi Saw. (demikian pula kaum Muslim) diperintahkan untuk membaca, dan yang dibaca itu antara lain adalah Al-Quran, maka wajar jika surat sesudahnya yakni surat Al-Qadar ini berbicara tentang turunnya Al-Quran, dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Quran.
Keutamaan Malam lailatul Qadar
Keagungan Malam Lailatul Qadar dalam Al-Qur'an
Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan, salah satunya adalah Lailat Al-Qadar, suatu malam yang oleh Al-Quran "lebih baik dari seribu bulan."
Tetapi apa dan bagaimana malam lailatul qadar itu? Apakah ia terjadi sekali saja yakni malam ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu, atau terjadi setiap bulan Ramadhan sepanjang masa? 

Bagaimana kedatangan malam lailatul qadar?, apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya, dan benarkah ada tanda dan ciri fisik material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya air, heningnya malam, dan menunduknya pepohonan dan sebagainya)? 
Itulah beberapa pertanyaan seputar malam yg mulia ini, Bahkan masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dan sering muncul berkaitan dengan malam Al-Qadar itu.
Yang pasti dan harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan pernyataan Al-Quran bahwa, "Ada suatu malam yang bernama Lailat Al-Qadar, dan bahwa malam itu adalah malam yang penuh berkah, di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan."
Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang penah hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami (QS Al-Dukhan [44]: 3-5).
Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab suci menginformasikan bahwa ia diturunkan Allah pada bulan Ramadhan (QS Al-Baqarah [2]: 185) serta pada malam Al-Qadar (QS Al-Qadr [97]: l).
Malam tersebut adalah malam mulia. Tidak mudah diketahui betapa besar kemuliannnya. Hal ini disyaratkan oleh adanya "pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu: Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS Al-Qadr [97]: 2)
Tiga belas kali kalimat ma adraka terulang dalam Al-Quran, sepuluh di antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang berkait dengan hari kemudian, seperti: Ma adraka ma yaum al-fashl, dan sebagainya. Kesemuanya merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia, kalau enggan berkata mustahil dijangkaunya. Tiga kali ma adraka sisa dari angka tiga belas itu adalah:
  1. Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu? (QS Al-Thariq [86]: 2)
  2. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (QS Al-Balad [90]: 12)
  3. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS Al-Qadr [97]: 2)
Pemakaian kata-kata ma adraka dalam Al-Quran berkaitan dengan objek pertanyaan yang menunjukkan hal-hal yang sangat hebat, dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia.
Walaupun demikian, sementara ulama membedakan antara pertanyaan ma adraka dan ma yudrika yang juga digunakan Al-Quran dalam tiga ayat.
  1. Dan tahukah kamu, boleh jadi hari berbangkit itu adalah dekat waktunya? (QS Al-Ahzab [33]: 63)
  2. Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat? (QS Al-Syura [42]: 17
  3. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan diri (dan dosa)? (QS 'Abasa [80]: 3).
Dua ayat pertama di atas mempertanyakan dengan ma yudrika menyangkut waktu kedatangan kiamat, sedang ayat ketiga berkaitan dengan kesucian jiwa manusia. Ketiga hal tersebut tidak mungkin diketahui manusia.
Secara gamblang Al-Quran --demikian pula As-Sunnah-- menyatakan bahwa Nabi Saw. tak mengetahui kapan datangnya hari kiamat, tidak pula mengetahui tentang~perkara yang gaib. Ini berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui walau oleh Nabi Saw. sendiri, sedang wa ma adraka, walau berupa pertanyaan namun pada akhirnya Allah Swt. menyampaikannya kepada Nabi Saw. Sehingga informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau. Demikian perhedaan kedua kalimat tersebut. 
Ini berarti bahwa persoalan Lailat Al-Qadar, harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw., karena di sanalah kita dapat memperoleh informasinya.
Kembali kepada pertanyaan semula, apa malam kemuliaan itu? Apa arti malam Qadar, dan mengapa malam itu dinamai demikian? Di sini ditemukan berbagai jawaban.
Makna kata Al-Qadar dalam Al-Qur'an
1. Penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah dalam surat Ad-Dukhan ayat 3 yang disebut di atas. (Ada ulama yang memahami penetapan itu dalam batas setahun). 
Al-Quran yang turun pada malam Lailat Al-Qadar, diartikan bahwa pada malam itu Allah Swt. mengatur dan menetapkan khiththah dan strategi bagi Nabi-Nya Muhammad Saw., guna mengajak manusia kepada agama yang benar, yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia baik sebagai individu maupun kelompok.
2. Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran, serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadar yang berarti mulia ditemukan dalam surat Al-An'am (6): 91 yang berbicara tentang kaum musyrik: Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada masyarakat.
3. Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyakuya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh ((Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Kata qadar yang berarti sempit digunakan Al-Quran antara 1ain dalam surat A1-Ra'd (13): 26: Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya).
Ketiga arti tersebut pada hakikatnya dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan. 
Sebelum kita melanjutkan bahasan tentang Laitat Al-Qadar, maka terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang kehadirannya adakah setiap tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu?
Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada Lailat Al-Qadar. Akan tetapi karena umat sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw., maka atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya Al-Quran.
Pakar hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda bahwa malam qadar sudah tidak akan datang lagi.
Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena mereka berpegang kepada teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa Lailat Al-Qadar terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Bahkan Rasululllah Saw. Menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu, secara khusus pada malam-malam ganjil setelah berlalu dua puluh Ramadhan.
Memang turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi pada malam Lailat Al-Qadar, tetapi itu bukan berarti bahwa ketika itu saja malam mulia itu hadir. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri.
Pendapat di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari' (present tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang mengandung arti kesinambungan (baca: kandungan surat al-Qadar), atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.
Nah, apakah bila Lailat Al-Qadar hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu?
Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun dugaan itu menurut hemat penulis keliru, karena hal itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. 
Di sisi 1ain berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik-material, sedangkan riwayat-riwayat demikian, tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Seandainya, sekali lagi seandainya, ada ciri fisik material, maka itu pun takkan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. 
Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat Al-Qadar tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di sana mendambakannya. 
Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya? Demikian juga dengan Lailat Al-Qadar. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya Rasul Saw. menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailat Al-Qadar datang menemui seseorang, ketika itu, malam kehadirannya menjadi saat qadar dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbitnya fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian. (Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadar yang dikemukakan di atas!).
Syaikh Muhammad 'Abduh, menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. 'Abduh memberi ilustrasi berikut: Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, baik dan buruk. Manusia sering merasakan pertarungan antar keduanya, seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. 
Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, sampai akhirnya sidang memutuskan sesuatu. Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedang yang membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak, kata 'Abduh, penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan. 
Tanggapan Muhammad Abduh tentang pandangan Iman Al-Ghazali tentang malam lailatul qadar, semkin dipertegas dengan tambahan: Turunnya malaikat pada malam Lailatul Al-Qadar menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya, menjadikan yang bersangkutan akan selalu disertai oleh malaikat. Sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan, dan dia sendiri akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tak terbatas sampai fajar malam Lailat Al-Qadar, tapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak.
Doa Malam Lailatul Qadar dalam Hadis
Lailatul Qadar Hanya Turun Di Bulan Ramadhan
Di atas telah di kemukakan bahwa Nabi Saw. menganjurkan sambil mengamalkan i'tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci. Segala aktivitas kebajikan bermula di masjid. Di masjid pula seseorang diharapkan merenung tentang diri dan masyarakatnya, serta dapat menghindar dari hiruk pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan dan pengkayaan iman. 
Itu sebabnya ketika melaksanakan i'tikaf, dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan takwa. Baca: daftar bacaan dan doa Ramadhan)
Malam Qadar yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan masyarakat. Saat jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Ar-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia. Karena itu pula beliau mengajarkan kepada umatnya, dalam rangka menyambut kehadiran Lailatul Qadar itu, antara 1ain adalah melakukan i'tikaf.
Walaupun i'tikaf dapat dilakukan kapan saja, dan dalam waktu berapa lama saja --bahkan dalam pandangan Imam Syafi'i, walau sesaat selama dibarengi oleh niat yang suci-- namun Nabi Saw. selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa. Di sanalah beliau bertadarus dan merenung sambil berdoa.
Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati maknanya adalah: Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat, dan peliharalah kami dan siksa neraka (QS Al-Baqarah [2]: 201).
Doa ini bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan dunia dan kebajikan akhirat, tetapi ia lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang disertai usaha. Permohonan itu juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.
Adapun menyangkut ciri alamiah malam lailatul qadar, maka Al-Quran tidak menyinggungnya. Ada beberapa hadis mengingatkan hal tersebut, tetapi hadis tersebut tidak diriwayatkan oleh Bukhari, pakar hadis yang dikenal melakukan penyaringan yang cukup ketat terhadap hadis Nabi Saw.
Muslim, Abu Daud, dan Al-Tirmidzi antara lain meriwayatkan melalui sahabat Nabi Ubay bin Ka'ab, sebagai berikut, Tanda kehadiran Lailat Al-Qadr adalah matahari pada pagi harinya (terlihat) putih tanpa sinar.
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan, Tandanya adalah langit bersih, terang bagaikan bulan sedang purnama, tenang, tidak dingin dan tidak pula panas ...
Hadis ini dapat diperselisihkan kesahihannya, dan karena itu kita dapat berkata bahwa tanda yang paling jelas tentang kehadiran Lailat Al-Qadar bagi seseorang adalah kedamaian dan ketenangan. Semoga malam mulia itu berkenan mampir menemui kita.
Untuk memperkaya mengenai hal apa saja yang harus dikerjakan dan ditinggalkan pada saat malam lailatul qadar kami sarankan untuk membaca artikel kami (kekeliruan seputar lailatul qadar). Demikianlah, mudahan bermanfaat.

Selasa, 14 Juni 2016

Aku Sangat Mengagumimu, Tapi Seakan Hadirku Bagaikan Angin Yang Berhembus Sekejap

 
Kata kata kagum pada seseorang itulah yang selalu terucap juga dari bibir ini karena aku juga sangat mengagumi dirimu yang sampai saat ini belum bisa aku miliki..hanya bisa mengagumimu, hanya bisa melihatmu dari kejauhan..

Kata kata kagum pada seseorang itulah yang selalu aku baca untuk berlatih mengungkapkan rasa cinta cinta ini padamu, tapi sudah berapa banyak kata kata kagum pada seseorang yang aku baca dan hapalkan tetap saja rasa kagumku belum bisa terwujudkan untuk memilikimu yang selama ini akau kagumi..

Kata kata kagum pada seseorang yang telah terangkai indah lewat tulisan ini aku berharap kamu bisa menemukannya kelak sehingga menyadarkanmu betapa aku mencintaimu walau hanya sebatas mengagumimu dari kejauhan..
 terkadang kau berada sangat dekat tetapi tetap saja bagaikan ada jurang yang memisahkan kita :')

melihatmu dari kejauhan, itulah yang selalu aku lakukan :')

Menjadi Pengagum Rahasia dan semuanya berawal dari Rasa yang ada di HATI

dan kau pasti tak menyangka,aku berbohong jika aku begitu mudah meupakanmu..

gue bukannya menjauh. gue cuma pingin lo ngerasa kehilangan kalo gue ga berada di sisi lo :") buatmu yg selalu ku kagumi.

gue suka sama lo tapi gue gak maksain lo harus jadi milik gue. lo milih dia?silahkan. karna gue tau cinta gak harus memiliki

Karena cukup melihat senyummu dari jauh saja sudah membuat hariku cukup berwarna :")

Mencari cari tambatan hati, kau sahabatku sendiri hidupkan lagi mimpi mimpi..

Dan kau hadir,mengubah segalanya,menjadi lebih Indah,kau bawa cintaku setinggi angkasa,membuat ku merasa sempurna~"

Walaupun km bukan siapa" tp aku akann menyukaimu sampai kapanpun,karna cuma km yg aku sayang..

Cinta itu tidak perlu/tidak harus dipertontonkan karna kalau cinta sejati itu datangnya dari hati ke hati..

Jangan sampai engkau membuang air matamu untuk orang yg tidak menyayangimu,tangisilah orang yg mencintaimua apa adanya..

Pada saat pandangan pertama aku bertemu denganmu aku merasa bahwa kamu adalah cinta sejatiku...

aku tidak perlu menjadi kepercayaan orang banyak. cukup jadi kepercayaanmu saja :)

Terkadang, yg diinginkan sebenarnya tak dibutuhkan, sedangkan yg dibutuhkan tak bisa dimiliki. Tapi Tuhan, tahu apa yg terbaik.

Akankah cerita cinta ku berakhir seperti film crazy little think called love? Tidak:( bahkan sampai nanti aku luluspun kau tetap acuh

Ketika waktu berjalan, hari berganti, musim berganti, tapi mengapa hati ini tidak berganti? Still the one and only.

Kangen ya? Mau ketemu ya? Tapi kayanya sih yang di kangenin, lagi kangen kangenan sama pacarnya. - Pengagum Rahasia

Sebaik apapun jarak, dialah yang membuat rindu, rindu yang sering di abaikan...

Dia yang meninggalkanmu, dia yang akan menyesal telah menyia-nyiakan orang yang sebenarnya selalu memberi perhatian lebih.

Setidaknya hargailah perasaan yang masih berharap besar untuk di respon.

Jatuh cinta diam diam adalah proses pengenalan yang kadang sakit prosesnya.

Aku hanya bisa berusaha, selebihnya aku berharap.

Aku hanyalah serpihan kecil kisah hidupmu yang masih belum kau ketahui.

Pada dasarnya berharap kepada manusia itu hanya ada 2 kemungkinan. bahagia karena terbalaskan atau kecewa…

Ya sakit juga sih ngeliat orang yang kita kagumi itu punya orang lain, apa lagi kalau punya temen sendiri.

Entah siapa yang salah, aku yang terlalu berharap atau kamu yang terlalu acuh.

Tak pernah minta perhatian dari kamu karena memang posisi aku sebagai wanita yang tak mungkin untuk selalu memulai.

Rasanya masih belum bisa kalau harus mengatakan yang sebenarnya. Selalin takut kau tolak aku juga takut kau malah menjauh nantinya...

Yang seeing terjadi sih gitu, yang bener bener tulus malah diabaikan cuma gara gara hadir seseorang yang bisa balikin mood sesaat aja.

udah lama aku sayang kamu,dan selama itu juga aku pendem perasaan agar aku bisa tetap deket kmu tanpa kamu merasa risih dengan perasaan ini.

Memendam perasaan mungkin adalah cara terbaik untuk selalu dekat dengan mantan teman kita sendiri.

Hanya bisa menerima keadaan saat kau selalu mengabaikan perhatian yang sebenarnya selalu di dasari dengan perasaan yang tulus.

Coba sedikit saja lihat ke arah sini. Ada perasaan yang selalu mengharapkan balasan perasaan yang serupa darimu .

Selain aku mengagumimu aku juga berharap.
 
demikian rangkaian kata kata kagum pada seseorang ini yang bisa tersusun secara sederhana untukmu, semoga kamu sahabatku bisa menyampaikan rasa kagummu meski hanya lewat kata kata kagum pada seseorang ini..